• SMAS SANTU KLAUS WERANG
  • Cerdas Berkarakter Pancasila

KUTU BUSUK: MERANGKAI NARASI, MERAWAT KENANGAN

“Sangat susah mengusir kubus memang, meskipun ia tak punya KTP!”, Bayu Anse

 Kegiatan Pelatihan Digitalisasi Pembelajaran yang berlangsung di St. Klaus Werang akhirnya menjawab kerinduan sebagian besar dari kami (para peserta) untuk sejenak merasakan kembali kisah-kisah semasa tinggal di asrama dulu. Ya, kerinduan ini cukup dimaklumi memang, karena sebagian besar peserta pelatihan adalah alumni dari lembaga ‘dwitunggal' tersohor ini, St. Klaus Werang dan St. Klaus Kuwu. Ditambah lagi, pemateri, Ibu Rini dalam pelatihan ini juga adalah salah satu alumnus lembaga pendidikan ini.

Sebagai ‘mantan anak asrama', para peserta pelatihan ini untuk sementara waktu memanfaatkan tempat tidur siswa/i St. Klaus Werang yang masih menjalani masa liburan tahun baru. Selain karena locus  kegiatan ini jauh dari hotel atau jenis penginapan super premium lainnya, alasan lain yang lebih masuk akal adalah supaya gambaran keseruan dulu saat masih jadi anak asrama tidak serta merta hilang dari ingatan. Hitung-hitung nostalgia. Atau yang lebih mulia lagi, kegiatan ini sebetulnya juga adalah cara paling tampan untuk mengakrabkan dua saudara jauh, Kuwu dan Werang.

Di sini, semua peserta dapat membangun keakraban mesra, dengan canda tawa yang jujur, tanpa takut dihantui tagihan penginapan hotel yang mahal. Lebih mulia lagi, dengan situasi asrama ini, para peserta pelatihan pun diharapkan agar tidak pernah menyangkal kenangan, bahwa untuk menjadi besar seperti saat ini, kita berangkat dari kebersamaan dengan kutu busuk, hewan kecil yang kerap meresahkan itu! 

Kutu Busuk: dari Papan tempat Tidur, muncul Petuah Hidup

Entah disadari atau tidak, kutu busuk (anak asrama biasa menyebutnya ‘kubus') adalah salah satu bagian penting yang terlibat dalam proses pembentukan kebertahanan diri manusia. Tanpa kubus, orang-orang mungkin tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya bangun tengah malam, hanya untuk membasmi kubus yang menciptakan kegaduhan. Oleh kubus, manusia bisa belajar merawat kesabaran. Tanpa kubus, orang-orang juga mungkin tidak akan pernah mengerti, betapa kecewanya saat mimpi malam yang indah, malah dipersingkat gara-gara kubus yang mengganggu kemesraan itu. Karenanya, manusia bisa memetik makna ikhlas melepas kepergian. 

Tanpa kubus, orang-orang juga mungkin tidak akan pernah mengerti, betapa kecewanya saat mimpi malam yang indah, malah dipersingkat gara-gara kubus yang mengganggu kemesraan itu. Karenanya, manusia bisa memetik makna ikhlas melepas kepergian. Tanpa kubus, orang-orang juga mungkin tidak akan pernah mengerti, betapa kecewanya saat mimpi malam yang indah, malah dipersingkat gara-gara kubus yang mengganggu kemesraan itu. Karenanya, manusia bisa memetik makna ikhlas melepas kepergian. Terhadap peristiwa-peristiwa itu, manusia diajarkan untuk tetap membangun harapan, bahwa selalu ada makna indah di balik setiap peristiwa kegelapan, blessing in disguise.  Ya, orang sering tidak bisa menebak, dari mana hewan kecil ini muncul, untuk apa ia diciptakan Tuhan, dan bagaimana cara paling elegan supaya ia bisa tersingkirkan. Dari refleksi peserta, akhirnya diperoleh satu jawaban ini: kubus mengajarkan manusia untuk tetap rajin; rajin menjemur kasur, bantal, seprei. 

Sangat susah mengusir kubus memang, meskipun ia tak punya KTP!

Ya, satu-satunya cara untuk menumpas dominasi kubus adalah rajin-rajin menjemur kasur. Sebab, kata orang bijak, “supaya menjadi orang sukses, pastikan dulu tempat tidurmu dalam kondisi yang bersih”.

Kutu Busuk: merangkai Narasi, merawat Kenangan

Terlepas dari kehadirannya yang mencemaskan, kubus sebetulnya adalah mozaik kisah yang tidak boleh terlupakan. Meski meresahkan, ia berhasil menempatkan manusia pada sebuah kesadaran, bahwa proses pematangan diri bukanlah siklus sekali jadi.

Diri yang matang muncul melalui proses berkelanjutan, lewat cara-cara yang tampaknya sederhana dan kadang menjengkelkan. Dengan kesediaan 'melawan' kubus, toh kita sebetulnya telah mengambil bagian dalam perjuangan menuju tanggung jawab yang lebih besar. Jika ada saatnya kubus dilihat sebagai perkara, bukankah setiap orang yang setia pada perkara kecil akan diberikan tanggung jawab untuk perkara yang lebih besar? Barangkali, refleksi tentang tanggung jawab kita terhadap perkara kehidupan ini dapat kita jawab melalui kebersamaan dengan kubus. (Bayu Anse, S. Fil)

Komentari Tulisan Ini